Pak Karyo. Begitulah aku menyapanya. Sosok bapak tua berusia 59 tahun yang bersahaja dan berwibawa.
Rambut putihnya tak memutihkan semangatnya, bahkan mampu mengalahkan usia senjanya. Siapa yang tidak mengenal sosoknya, karena wajah ramahnya selalu membuat para mahasiswa bertanya bila tak melihatnya sehari di kampus.
Siang itu, aku duduk di bawah pohon rindang di belakang kampus , tempat para mahasiswa membaca buku sambil bersantai, atau sekedar melepas penat setelah mengikuti salah satu mata kuliah. Pandanganku menerawang jauh, mengetahui kenyataan nilai ujian ku tidak mencapai hasil yang memuaskan. Usahaku yang maksimal tidak membuahkan hasil sama sekali. Sedih.. dan sudah sepantasnya seperti itu.Tanganku tidak henti-hentinya mencabuti rumput-rumput di sekitarku, sebagai pelampiasan. Kesal bercampur marah dan sedih, tak terasa....air mataku pun menetes.
Pada saat itulah, pak Karyo datang dengan khas cangkul kecil di tangan kanannya, Beliau duduk di sebelahku, merangkul pundakku, kemudian tersenyum. Untungnya aku segera menghapus air mata. Tak lama kemudian, Pak Karyo mengajakku duduk di saungnya.
Saung itu begitu sejuk, di tambah lagi suguhan air dari teko tanah liat, sungguh segar terasa di kerongkonganku yang tercekat. Saung itu tidak terlalu besar, mungkin hanya muat untuk lima orang. Atap dan alasnya terbuat dari potongan bambu sederhana, menciptakan sebuah suasana baru bagiku. Letak saung itu agak jauh sedikit, sekitar 150 meter di belakang gedung kampus. Jika melihat ke belakang dinding saung tersebut , akan terlihat halte di mana biasanya aku menunggu bis umum sepulang kuliah.
Tak jauh dari sana , Pak Karyo sedang asik dengan cangkul, pupuk, dan sebuah pohon kecil yang baru beliau tanam. Aku pun segera menghampirinya. “ Baru di tanam ya Pak…” ?? sapaku ramah. Pak karyo tersenyum melihatku, sambil balik bertanya, “ sudah baikan nak…” ?? tangannya masih sibuk dengan tanaman barunya. Aku hanya membalasnya dengan senyum sedikit malu.
" Dua minggu yang lalu pohon ini Bapak tanam.. jadi masih perlu perawatan khusus..” katanya sambil menyebarkan pupuk, aku pun membantunya. “ Bapak punya hobi berkebun ya Pak ? ” tanyaku sekedar ingin tau.
“ hobi…..?? “ alisnya mengernyit, berfikir. “semoga bukan sekedar hobi” pandangan ramahnya menatap mataku.
“ Ngomong-ngomong…. Bapak bukan tukang kebun kampus ini kan …? "
Pak Karyo terkekeh mendengar pertanyaan ku. “ Memang kenapa Nak ? ” Tanyanya. “ Saya cuma heran Pak.. Bapak tidak berseragam seperti tukang kebun lainnya, tapi kok Bapak selalu merawat tanaman, tak jarang juga saya melihat Bapak menanam pohon baru di kampus ini ". Pak Karyo semakin terbahak dengan penjelasanku.. “ Saya salah ya Pak…??? ” tanyaku ragu. Kini Pak Karyo terbatuk-batuk menahan tawa, kami pun beranjak dan duduk di tepi saung. Tidak lama kemudian…cerita dari bibirnya mengalir….
“ Pohon tadi adalah pohon yang ke - 40 yang pernah Bapak tanam nak..” matanya menerawang,. Menembus pohon kecil yang baru ia pupuki tadi.
“ Dulu,,,, waktu Bapak masih se usia kamu, kira - kira 40 tahun yang lalu, Bapak memang mempunyai hobi berkebun. Maklum.. di kampung Bapak , daerah Malang sana , setiap rumah pasti memilki kebun apel. Sampai akhirnya ketika pindah ke Jakarta , di tambah lagi karena desakan polusi dan udara panas di Jakarta , akhirnya Bapak meneruskan hobi tersebut ". Sambil menghembuskan nafas panjang, Beliau pun melanjutkan kisahnya.
" Pertama kali, Bapak minta izin pada ketua RT, untuk menanam pohon di perempatan jalan. Beliau setuju. Bapak pun terus merawat pohon tersebut. Tak terasa lima tahun berlalu, pohon tersebut menjadi besar dan rindang. Banyak sekali orang yang berteduh di bawahnya. Mulai dari anak jalanan, tukang - tukang dagangan, sampai mahasiswa dan orang - orang sepulang kerja. Sejak itulah Bapak senang sekali, karena pohon yang Bapak tanam bermanfaat untuk banyak orang. Bahkan bukan hanya manusia yang bisa menggunakan rindang pohon tersebut, tapi juga ketika Bapak perhatikan, ada burung yang membuat sarangnya di atas pohon itu, serta capung dan kupu - kupu yang bermain - main….”
“ Sejak itulah nak… setiap tahun berganti, Bapak selalu menyempatkan menanam sebuah pohon di tempat - tempat strategis yang sering di lewati orang ” .
“ Lho.. kenapa harus ketika tahun berganti Pak…? ” tanyaku curiga.
“ Kenapa ketika tahun berganti ya…??? Entahlah… Bapak juga bingung Nak…” matanya menyipit sambil tersenyum.. “ mungkin… sebagai salah satu wujud syukur Bapak juga kepada Allah yang masih memberikan bapak usia…”
Syukur ? kata tersebut hampir tidak pernah ada di kepalaku. Bahkan aku pun bingung apa yang harus di syukuri. Sampai tahun berganti hingga hari ini pun, aku belum pandai bersyukur atas apa yang aku miliki.
“ Lalu setelah Bapak menanam… apa yang Bapak lakukan? “ tanyaku lanjut.
“ Setiap tahun berganti.. setiap pohon baru Bapak tanam.. maka setiap itu pula tercipta semua harapan dan cita - cita baru…yang selalu tertulis dalam buku ini….” Pak Karyo mengeluarkan sebuah buku saku usang dari kantong bajunya. Kemudian memperlihatkan tulisan terakhir yang baru kemarin ia tulis…“ apa yang akan saya lakukan di usia senja ini…..??? ”
Di bawahnya pun tertulis berderet rencana setahun ke depan. Salah satu yang tertulis di sana adalah berkumpul dengan cucu. Beliau juga menceritakan alasan kenapa ingin sekali berkumpul dengan cucu-cucunya di Malang .
“ Bagaimana dengan pohon - pohon sebelumnya yang pernah di tanam Pak ? di lupakan begitu saja ? “ kataku mengalihkan pembicaraan..
“ Oh… ya gak dong Nak,, “ Pak Karyo tersenyum, dan mengacak-ngacak rambutku.
“ Justru.. pohon-pohon tersebutlah sebagai tempat Bapak mengevaluasi diri nantinya. Setiap tahun berganti, maka Bapak pasti akan ke pohon – pohon tersebut. Mengevaluasi diri. Apa yang sudah bapak lakukan tahun-tahun kemarin ?"
" Setiap pohon… ada pelajaran dan hikmah tersendiri yang selalu mengingatkan Bapak…” katanya tersenyum.
Merencanakan hidup… Mengevaluasi diri…. Aku hampir tidak pernah melakukan hal tersebut sama sekali. Bahkan memasuki tahun ini pun, semua seperti hari - hari lainnya. Mengalir begitu saja. Lebih tepatnya hampir sia - sia.
Hufh.. betapa malunya aku jika seandaninya Pak Karyo tau kodisiku yang sebenarnya.
“ Kamu lihat pohon besar di ujung sana Nak…” Pak Karyo menunjuk sebuah Pohon disamping kafe, “ itu Bapak tanam sekitar sepuluh tahun yang lalu… ketika pertama kali Bapak tinggal di kampus ini”. Ya, Pohon itu adalah tempat mahasiswa biasanya pada nge-riung untuk makan, atau sekedar ngadem atau berteduh di bawahnya.
“kemudian lihat pohon di sana, terus yang itu… sebelahnya lagi…” Pak Karyo terus bercerita tentang hobinya itu, dan kebahagiaan yang Ia dapatkan ketika bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
“ Nah… sekarang gantian kamu yang bercerita Nak,, Bapak siap mendengarkannya”
“ Kamu ada masalah nak.. barang kali Bapak bisa membantu…” Aku menggeleng, tersenyum. Dan terdiam agak lama.
Matahari senja mulai menyapa, semilir angin ramah menyentuh wajah. Sungguh ini adalah suasana yang seharusnya bisa menyejukkan hati, namun ujian pagi tadi, ternyata masih memenuhi pikiran ini.
“ Pak.. “ Aku angkat bicara. “ apa Bapak pernah menanam sebuah pohon dan merawatnya, tetapi ternyata pohon itu tidak membuahkan hasil…anggaplah pohon itu ternyata mati.”
Pak Karyo manggut-manggut dan tersenyum.
“ pasti pernah nak.. semua orang pasti pernah merasakan kegagalan…memang kenapa ?”
Aku terdiam agak lama, menunduk, dan menarik nafas panjang..
“ Saya telah gagal Pak.. saya gagal ujian hari ini. Padahal ini adalah UAS ( Ujian Akhir Semester ). Seminggu kemarin saya sudah mengerahkan semua waktu dan segenap kemampuan saya, tapi ternyata pagi tadi… siapa sangka hasilnya akan seperti itu. Entah kenapa… saya blank gak bisa mengisi apa-apa…” suaraku tersekat.. hampir menangis.
“ iIulah sebabnya mengapa saya melamun sedih siang tadi. Saya benci Pak.. saya benci dengan diri saya yang teramat bodoh… !” pandanganku menunduk, tangan ini terkepal begitu kuat, dan tanpa terasa.. sebutir air mata jatuh tepat di atas pahaku.
“ Saya…..putus asa Pak….” lanjutku melemah…“ Nak.. “ tangan Pak Karyo merangkul pundakku, matanya se akan mencari tau tentang diriku.
“ Kamu yakin sudah sangat giat belajar saat itu…?” Aku mengangguk yakin. Kemudian tertunduk kembali.
“ Baiklah, bagus kalau begitu…karena esensi dari sebuah kemenangan itu.. bukan terletak pada hasilnya.. tapi pada prosesnya. Allah tau dan melihat bagaimana usaha kamu kemarin, gak usah khawatir,,,,” pak Karyo memukul - mukul pundakku.
“ Niscaya, kegagalan merupakan salah satu bentuk dalam kehidupan ini, prosrs sebagai keberhasilan yang tertunda. Coba se sekali kamu tanyakan pada orang sukses, kenapa mereka bisa sukses… ?? itu karena mereka selalu bangkit dari kegagalan…Adakah orang sukses yang belum pernah gagal ? “
“ Ibarat sebuah bola, agar bisa terlempar tinggi, maka harus di hantamkan sekuat mungkin ke bumi, iya kan …?? ” aku mengangguk lemah, membenarkan.
“ Karena itu Nak.. anggaplah kegagalan kamu hari ini adalah sebuah hantaman yang akan mengajakmu mencapai puncak nantinya.. maka janganlah lari dari semua ini…karena berarti kamu telah lari dari kesuksesan nanti…” tatapan mata Pak Karyo se akan meyakinkanku.
“ Kamu tau Nak… jika Bapak mengikuti kata putus asa.. mungkin pohon di samping kafe itu tidak akan sebesar sekarang ini….di mana semua mahasiswa senang belajar di bawah rimbunnya..”
“ itu tandanya.. untuk hal yang sederhana pun, hanya untuk menanam sebuah pohon, butuh usaha dan kesabaran…”
“ Apalagi untuk sebuah cita-cita besar seperti kamu Nak…”
“ semua butuh proses… maka janganlah pernah berhenti …”
“ karena kamu tidak akan pernah melihat masa depan, jika kamu tidak menanam hari ini…”
Aku menatap dalam mata Pak Karyo.. semangat dan harapan ada di dalamnya. Pak karyo mengangguk, meyakinkanku, aku tersenyum, seketika itu Pak Karyo langsung mengacak rambut dan menjabat tanganku erat… sebuah jabatan yang membuatku rindu dengan Ayah di kampung sana ….
Pak karyo telah mengajarkan sebuah episode kehidupan yang tak akan pudar. Beliau memang tidak mengajari sebuah ilmu yang luar biasa. Akan tetapi beliau mengajarkan, "bagaimana memanfaatkan ilmu yang biasa, menjadi sangat luar biasa".
***
Enam tahun kemudian..
“ Pak yang sudah selesai bagaimana? “ suara Silvy, mahasiswa paling cerewet di kelas mengaburkan lamunanku.
“ Oh ya, waktunya sudah habis ya.. kuis hari ini selesai. Silahkan di kumpulkan”.
Setelah semua mahasiswa mengumpulkan lembar kuis, mereka merapihkan meja lipat dan barang-barangnya. Beberapa mahasiswa lelaki mengambil tasnya yang di gantungkan di ranting-ranting pohon. Sementara Sinta, mahasiswa paling rajin di kelas, sibuk memunguti sampah - sampah kertas di sekitar pohon.
“ Sebelum di tutup ada yang mau di tanyakan? “ tanyaku sebelum menutup kuliah hari itu.
“ Saya Pak, tapi gak berkaitan dengan mata kuliah…” kata Silvy dengan antusias.
“ Yah..nggak apa-apa.. yang penting pertanyaannya tidak macam - macam dan aneh - aneh..” Jawabku sambil tersenyum menatap Silvy.
“ mmm…… kenapa sih… Bapak suka ngajakin kita untuk kuliah di bawah pohon rindang seperti hari ini….” Tanya silvy dengan nada centil. Sementara mahasiswa lain gaduh menyorakinya.
Aku tersenyum. Pertanyaan yang bagus menurutku. Meskipun seratus kali pertanyaan tersebut terlontar, bibir ini tidak akan pernah lelah bercerita. Sebuah kisah yang telah mengantarkan ku menjadi Dosen seperti sekarang ini. Satu panen yang pernah ku tanam di masa lalu.
Terima kasih Pak Karyo..
Rambut putihnya tak memutihkan semangatnya, bahkan mampu mengalahkan usia senjanya. Siapa yang tidak mengenal sosoknya, karena wajah ramahnya selalu membuat para mahasiswa bertanya bila tak melihatnya sehari di kampus.
Siang itu, aku duduk di bawah pohon rindang di belakang kampus , tempat para mahasiswa membaca buku sambil bersantai, atau sekedar melepas penat setelah mengikuti salah satu mata kuliah. Pandanganku menerawang jauh, mengetahui kenyataan nilai ujian ku tidak mencapai hasil yang memuaskan. Usahaku yang maksimal tidak membuahkan hasil sama sekali. Sedih.. dan sudah sepantasnya seperti itu.Tanganku tidak henti-hentinya mencabuti rumput-rumput di sekitarku, sebagai pelampiasan. Kesal bercampur marah dan sedih, tak terasa....air mataku pun menetes.
Pada saat itulah, pak Karyo datang dengan khas cangkul kecil di tangan kanannya, Beliau duduk di sebelahku, merangkul pundakku, kemudian tersenyum. Untungnya aku segera menghapus air mata. Tak lama kemudian, Pak Karyo mengajakku duduk di saungnya.
Saung itu begitu sejuk, di tambah lagi suguhan air dari teko tanah liat, sungguh segar terasa di kerongkonganku yang tercekat. Saung itu tidak terlalu besar, mungkin hanya muat untuk lima orang. Atap dan alasnya terbuat dari potongan bambu sederhana, menciptakan sebuah suasana baru bagiku. Letak saung itu agak jauh sedikit, sekitar 150 meter di belakang gedung kampus. Jika melihat ke belakang dinding saung tersebut , akan terlihat halte di mana biasanya aku menunggu bis umum sepulang kuliah.
Tak jauh dari sana , Pak Karyo sedang asik dengan cangkul, pupuk, dan sebuah pohon kecil yang baru beliau tanam. Aku pun segera menghampirinya. “ Baru di tanam ya Pak…” ?? sapaku ramah. Pak karyo tersenyum melihatku, sambil balik bertanya, “ sudah baikan nak…” ?? tangannya masih sibuk dengan tanaman barunya. Aku hanya membalasnya dengan senyum sedikit malu.
" Dua minggu yang lalu pohon ini Bapak tanam.. jadi masih perlu perawatan khusus..” katanya sambil menyebarkan pupuk, aku pun membantunya. “ Bapak punya hobi berkebun ya Pak ? ” tanyaku sekedar ingin tau.
“ hobi…..?? “ alisnya mengernyit, berfikir. “semoga bukan sekedar hobi” pandangan ramahnya menatap mataku.
“ Ngomong-ngomong…. Bapak bukan tukang kebun kampus ini kan …? "
Pak Karyo terkekeh mendengar pertanyaan ku. “ Memang kenapa Nak ? ” Tanyanya. “ Saya cuma heran Pak.. Bapak tidak berseragam seperti tukang kebun lainnya, tapi kok Bapak selalu merawat tanaman, tak jarang juga saya melihat Bapak menanam pohon baru di kampus ini ". Pak Karyo semakin terbahak dengan penjelasanku.. “ Saya salah ya Pak…??? ” tanyaku ragu. Kini Pak Karyo terbatuk-batuk menahan tawa, kami pun beranjak dan duduk di tepi saung. Tidak lama kemudian…cerita dari bibirnya mengalir….
“ Pohon tadi adalah pohon yang ke - 40 yang pernah Bapak tanam nak..” matanya menerawang,. Menembus pohon kecil yang baru ia pupuki tadi.
“ Dulu,,,, waktu Bapak masih se usia kamu, kira - kira 40 tahun yang lalu, Bapak memang mempunyai hobi berkebun. Maklum.. di kampung Bapak , daerah Malang sana , setiap rumah pasti memilki kebun apel. Sampai akhirnya ketika pindah ke Jakarta , di tambah lagi karena desakan polusi dan udara panas di Jakarta , akhirnya Bapak meneruskan hobi tersebut ". Sambil menghembuskan nafas panjang, Beliau pun melanjutkan kisahnya.
" Pertama kali, Bapak minta izin pada ketua RT, untuk menanam pohon di perempatan jalan. Beliau setuju. Bapak pun terus merawat pohon tersebut. Tak terasa lima tahun berlalu, pohon tersebut menjadi besar dan rindang. Banyak sekali orang yang berteduh di bawahnya. Mulai dari anak jalanan, tukang - tukang dagangan, sampai mahasiswa dan orang - orang sepulang kerja. Sejak itulah Bapak senang sekali, karena pohon yang Bapak tanam bermanfaat untuk banyak orang. Bahkan bukan hanya manusia yang bisa menggunakan rindang pohon tersebut, tapi juga ketika Bapak perhatikan, ada burung yang membuat sarangnya di atas pohon itu, serta capung dan kupu - kupu yang bermain - main….”
“ Sejak itulah nak… setiap tahun berganti, Bapak selalu menyempatkan menanam sebuah pohon di tempat - tempat strategis yang sering di lewati orang ” .
“ Lho.. kenapa harus ketika tahun berganti Pak…? ” tanyaku curiga.
“ Kenapa ketika tahun berganti ya…??? Entahlah… Bapak juga bingung Nak…” matanya menyipit sambil tersenyum.. “ mungkin… sebagai salah satu wujud syukur Bapak juga kepada Allah yang masih memberikan bapak usia…”
Syukur ? kata tersebut hampir tidak pernah ada di kepalaku. Bahkan aku pun bingung apa yang harus di syukuri. Sampai tahun berganti hingga hari ini pun, aku belum pandai bersyukur atas apa yang aku miliki.
“ Lalu setelah Bapak menanam… apa yang Bapak lakukan? “ tanyaku lanjut.
“ Setiap tahun berganti.. setiap pohon baru Bapak tanam.. maka setiap itu pula tercipta semua harapan dan cita - cita baru…yang selalu tertulis dalam buku ini….” Pak Karyo mengeluarkan sebuah buku saku usang dari kantong bajunya. Kemudian memperlihatkan tulisan terakhir yang baru kemarin ia tulis…“ apa yang akan saya lakukan di usia senja ini…..??? ”
Di bawahnya pun tertulis berderet rencana setahun ke depan. Salah satu yang tertulis di sana adalah berkumpul dengan cucu. Beliau juga menceritakan alasan kenapa ingin sekali berkumpul dengan cucu-cucunya di Malang .
“ Bagaimana dengan pohon - pohon sebelumnya yang pernah di tanam Pak ? di lupakan begitu saja ? “ kataku mengalihkan pembicaraan..
“ Oh… ya gak dong Nak,, “ Pak Karyo tersenyum, dan mengacak-ngacak rambutku.
“ Justru.. pohon-pohon tersebutlah sebagai tempat Bapak mengevaluasi diri nantinya. Setiap tahun berganti, maka Bapak pasti akan ke pohon – pohon tersebut. Mengevaluasi diri. Apa yang sudah bapak lakukan tahun-tahun kemarin ?"
" Setiap pohon… ada pelajaran dan hikmah tersendiri yang selalu mengingatkan Bapak…” katanya tersenyum.
Merencanakan hidup… Mengevaluasi diri…. Aku hampir tidak pernah melakukan hal tersebut sama sekali. Bahkan memasuki tahun ini pun, semua seperti hari - hari lainnya. Mengalir begitu saja. Lebih tepatnya hampir sia - sia.
Hufh.. betapa malunya aku jika seandaninya Pak Karyo tau kodisiku yang sebenarnya.
“ Kamu lihat pohon besar di ujung sana Nak…” Pak Karyo menunjuk sebuah Pohon disamping kafe, “ itu Bapak tanam sekitar sepuluh tahun yang lalu… ketika pertama kali Bapak tinggal di kampus ini”. Ya, Pohon itu adalah tempat mahasiswa biasanya pada nge-riung untuk makan, atau sekedar ngadem atau berteduh di bawahnya.
“kemudian lihat pohon di sana, terus yang itu… sebelahnya lagi…” Pak Karyo terus bercerita tentang hobinya itu, dan kebahagiaan yang Ia dapatkan ketika bisa memberikan manfaat kepada orang lain.
“ Nah… sekarang gantian kamu yang bercerita Nak,, Bapak siap mendengarkannya”
“ Kamu ada masalah nak.. barang kali Bapak bisa membantu…” Aku menggeleng, tersenyum. Dan terdiam agak lama.
Matahari senja mulai menyapa, semilir angin ramah menyentuh wajah. Sungguh ini adalah suasana yang seharusnya bisa menyejukkan hati, namun ujian pagi tadi, ternyata masih memenuhi pikiran ini.
“ Pak.. “ Aku angkat bicara. “ apa Bapak pernah menanam sebuah pohon dan merawatnya, tetapi ternyata pohon itu tidak membuahkan hasil…anggaplah pohon itu ternyata mati.”
Pak Karyo manggut-manggut dan tersenyum.
“ pasti pernah nak.. semua orang pasti pernah merasakan kegagalan…memang kenapa ?”
Aku terdiam agak lama, menunduk, dan menarik nafas panjang..
“ Saya telah gagal Pak.. saya gagal ujian hari ini. Padahal ini adalah UAS ( Ujian Akhir Semester ). Seminggu kemarin saya sudah mengerahkan semua waktu dan segenap kemampuan saya, tapi ternyata pagi tadi… siapa sangka hasilnya akan seperti itu. Entah kenapa… saya blank gak bisa mengisi apa-apa…” suaraku tersekat.. hampir menangis.
“ iIulah sebabnya mengapa saya melamun sedih siang tadi. Saya benci Pak.. saya benci dengan diri saya yang teramat bodoh… !” pandanganku menunduk, tangan ini terkepal begitu kuat, dan tanpa terasa.. sebutir air mata jatuh tepat di atas pahaku.
“ Saya…..putus asa Pak….” lanjutku melemah…“ Nak.. “ tangan Pak Karyo merangkul pundakku, matanya se akan mencari tau tentang diriku.
“ Kamu yakin sudah sangat giat belajar saat itu…?” Aku mengangguk yakin. Kemudian tertunduk kembali.
“ Baiklah, bagus kalau begitu…karena esensi dari sebuah kemenangan itu.. bukan terletak pada hasilnya.. tapi pada prosesnya. Allah tau dan melihat bagaimana usaha kamu kemarin, gak usah khawatir,,,,” pak Karyo memukul - mukul pundakku.
“ Niscaya, kegagalan merupakan salah satu bentuk dalam kehidupan ini, prosrs sebagai keberhasilan yang tertunda. Coba se sekali kamu tanyakan pada orang sukses, kenapa mereka bisa sukses… ?? itu karena mereka selalu bangkit dari kegagalan…Adakah orang sukses yang belum pernah gagal ? “
“ Ibarat sebuah bola, agar bisa terlempar tinggi, maka harus di hantamkan sekuat mungkin ke bumi, iya kan …?? ” aku mengangguk lemah, membenarkan.
“ Karena itu Nak.. anggaplah kegagalan kamu hari ini adalah sebuah hantaman yang akan mengajakmu mencapai puncak nantinya.. maka janganlah lari dari semua ini…karena berarti kamu telah lari dari kesuksesan nanti…” tatapan mata Pak Karyo se akan meyakinkanku.
“ Kamu tau Nak… jika Bapak mengikuti kata putus asa.. mungkin pohon di samping kafe itu tidak akan sebesar sekarang ini….di mana semua mahasiswa senang belajar di bawah rimbunnya..”
“ itu tandanya.. untuk hal yang sederhana pun, hanya untuk menanam sebuah pohon, butuh usaha dan kesabaran…”
“ Apalagi untuk sebuah cita-cita besar seperti kamu Nak…”
“ semua butuh proses… maka janganlah pernah berhenti …”
“ karena kamu tidak akan pernah melihat masa depan, jika kamu tidak menanam hari ini…”
Aku menatap dalam mata Pak Karyo.. semangat dan harapan ada di dalamnya. Pak karyo mengangguk, meyakinkanku, aku tersenyum, seketika itu Pak Karyo langsung mengacak rambut dan menjabat tanganku erat… sebuah jabatan yang membuatku rindu dengan Ayah di kampung sana ….
Pak karyo telah mengajarkan sebuah episode kehidupan yang tak akan pudar. Beliau memang tidak mengajari sebuah ilmu yang luar biasa. Akan tetapi beliau mengajarkan, "bagaimana memanfaatkan ilmu yang biasa, menjadi sangat luar biasa".
***
Enam tahun kemudian..
“ Pak yang sudah selesai bagaimana? “ suara Silvy, mahasiswa paling cerewet di kelas mengaburkan lamunanku.
“ Oh ya, waktunya sudah habis ya.. kuis hari ini selesai. Silahkan di kumpulkan”.
Setelah semua mahasiswa mengumpulkan lembar kuis, mereka merapihkan meja lipat dan barang-barangnya. Beberapa mahasiswa lelaki mengambil tasnya yang di gantungkan di ranting-ranting pohon. Sementara Sinta, mahasiswa paling rajin di kelas, sibuk memunguti sampah - sampah kertas di sekitar pohon.
“ Sebelum di tutup ada yang mau di tanyakan? “ tanyaku sebelum menutup kuliah hari itu.
“ Saya Pak, tapi gak berkaitan dengan mata kuliah…” kata Silvy dengan antusias.
“ Yah..nggak apa-apa.. yang penting pertanyaannya tidak macam - macam dan aneh - aneh..” Jawabku sambil tersenyum menatap Silvy.
“ mmm…… kenapa sih… Bapak suka ngajakin kita untuk kuliah di bawah pohon rindang seperti hari ini….” Tanya silvy dengan nada centil. Sementara mahasiswa lain gaduh menyorakinya.
Aku tersenyum. Pertanyaan yang bagus menurutku. Meskipun seratus kali pertanyaan tersebut terlontar, bibir ini tidak akan pernah lelah bercerita. Sebuah kisah yang telah mengantarkan ku menjadi Dosen seperti sekarang ini. Satu panen yang pernah ku tanam di masa lalu.
Terima kasih Pak Karyo..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar